Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran utama nasional yang telah lama dibudidayakan secara intensif oleh petani. Produk ini termasuk dalam kelompok bumbu non-replace yang digunakan sebagai bumbu masak. Selain sebagai bumbu utama masakan, bawang merah juga berpotensi untuk dijadikan bahan baku industri, seperti bawang goreng, tepung terigu, irisan kering, irisan basah, oleoresin, minyak, pasta dan acar.
Salah satu kendala utama dalam upaya peningkatan produksi bawang merah adalah terbatasnya pasokan benih bawang merah berkualitas tinggi pada saat petani membutuhkannya. Di Indonesia penanaman bawang merah biasanya menggunakan umbi-umbian sebagai bahan tanamnya. Hal ini dikarenakan menanam umbi dianggap lebih praktis, mudah dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
Namun pemanfaatan umbi-umbian sebenarnya memiliki banyak kekurangan, terutama yang berkaitan dengan kualitas benih, penyediaan dan pengelolaan (termasuk penyimpanan dan peredaran). Hampir tidak ada peluang untuk memperbaiki ciri / kualitas umbi dari varietas yang sama dari generasi ke generasi, sehingga daya saing bawang hijau Indonesia cenderung menurun.
Cara lain untuk mengatasi kekurangan bahan tanam untuk meningkatkan hasil dan mutu bawang merah adalah dengan mengembangkan bahan tanam bawang merah dari biji yang disebut TSS (True Shallots Seed). Sejak tahun 1990-an sudah ada instruksi penggunaan bahan tanam berupa TSS, namun hingga saat ini budidaya bawang merah dengan menggunakan sumber benih TSS belum banyak berkembang.
Pada dasarnya bawang merah dapat ditanam dengan dua jenis bahan tanam, yaitu reproduksi aseksual dan reproduksi seksual. Cara pemberian nutrisi yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan umbi-umbian. Di daerah tropis seperti Indonesia, petani daun bawang biasanya menggunakan cara ini. Di Indonesia, bawang merah banyak diusahakan oleh petani di 27 dari 33 provinsi, total luas panen pada tahun 2010 adalah 109.468 hektar dengan total produksi 1,05 juta ton.
Berbagai kendala pemanfaatan umbi sebagai bibit bawang merah melatarbelakangi bahwa dibutuhkan bahan bibit lain selain umbi. Menggunakan benih (TSS) mungkin merupakan pilihan yang menjanjikan. Dibandingkan dengan umbi-umbian, pemanfaatan TSS sebagai sumber benih memiliki beberapa keunggulan, antara lain kebutuhan benih yang lebih sedikit. Pemakaian benih sebagai benih per hektar areal hanya membutuhkan 3-7,5 kg, sedangkan umbi membutuhkan 1-1,5 ton / ha.
Karena hanya membutuhkan 3-7,5 kg benih, biaya penyediaan benih lebih murah. Jika harga rata-rata per kilogram TSS Rp 1.000.000, maka membeli benih hanya seharga Rp3.000.000-Rp7.500.000,00, atau Anda dapat menghemat 62,5% -80% biaya benih. Karena ukuran benih jauh lebih kecil dari umbi, tidak diperlukan bangunan / ruang yang besar untuk menyimpan benih.
Bobot rata-rata 1.000 benih varietas Katumi dan Sembrani yang dihasilkan Balai Penelitian Sayuran adalah 2-3 g, dan ukuran biji sedikit lebih besar, masing-masing 1.000 biji, 3,6 g dan 3,8 g. Bibit memiliki umur simpan yang lama sehingga fleksibel dan dapat ditanam pada saat dibutuhkan. Penyimpanan dalam kondisi suhu dan kelembapan yang terjaga dapat menjaga vigor benih dalam waktu yang lama. Mendistribusikan dengan mudah dan murah. Dengan kemasan yang baik, kerusakan pada saat pendistribusian relatif kecil. Perbedaan kecil dalam kualitas benih dan produktivitas tinggi